Polemik Pasal Tembakau di RUU Kesehatan, Fraksi Golkar Usulkan Hapus Pasal 154

Pasal pasal tentang pertembakauan masih terus menjadi kontroversi di pembahasan RUU Kesehatan. Fraksi Partai Golkar di DPR sudah resmi meminta agar menghapuskan pasal 154 yang berisi pernyataan rokok mengandung zat adiktif atau mengandung narkoba. Bunyi pasal tersebut menurut anggota Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo tidak benar sehingga harus dicabut. “Kami sudah minta pada anggota fraksi kita yang ada di sana untuk menghapuskan pasal itu. Kalau tembakau itu kan ada nilai ekonominya, ada nilai sosialnya. Tembakau itu juga menghasilkan cukai rokok yang cukup besar nilainya sampai Rp 178 triliun bahkan sekarang Rp 220 triliun lebih," ujar Firman dalam keterangan tertulis yang dikutip Selasa, 6 Juni 2023.

Firman memaparkan, jika industri rokok disamakan dengan narkoba bisa berdampak pabrik rokok akan tutup, ribuan buruh rokok akan bekerja dimana? "Petani kita akan dipindah kemana? Golkar mengedepankan kepentingan negara, kepentingan masyarakat, dan yang namanya petani harus dilindungi,” ujarnya. Sependapat dengan Firman Subagyo, Ketua APTI Jawa Barat Suryana menegaskan, pihaknya tidak menolak RUU Omibuslaw Kesehatan. Yang ditolak adalah pasal 154 yang salah satunya adalah menyebutkan tembakau ataupun rokok mengandung zat adiktif yang berbahaya sehingga rokok disamakan dengan tembakau. “Kami dengan tegas menolak pasal yang menyamakan Narkoba sama dengan rokok atau tembakau. Kami meminta itu segera dicabut. Tapi Undang undang kesehatannya kami terima," kata Suryana.

Polemik Pasal Tembakau di RUU Kesehatan, Fraksi Golkar Usulkan Hapus Pasal 154 Serikat Pekerja Minta DPR Hapus Pasal Tembakau dalam RUU Kesehatan Model Steffy Burase Ceraikan Eks Gubernur Aceh, Pengurusan Buku Nikah Terhalang Restu Istri Pertama

Kalau Pasal 154 RUU Kesehatan Diterapkan, Profesi Petani Tembakau di Magetan Bakal Punah Strategi Israel Bombardir Rata Tanah Gaza Malah Jadi Bumerang: Hamas Justru Makin Kuat Halaman 3 Lebih lanjut Suryana menegaskan, kalau pasal 154 tetap dimasukan dalam RUU Kesehatan tersebut, keberlangsungan industri tembakau dapat terancam dan akhirnya akan berdampak pada para petani tembakau.

“Kami meminta pemerintah tidak bersikap munafik. Uang pajak dari industri hasil tembakau yang berjumlah ratusan triliun diambil digunakan untuk pembangunan. Tapi industri rokok dan tembakaunya justru dimatikan, bahkan disamakan dengan narkoba. Itu tidak benar. Itu bukan hanya merugikan rakyat Indonesia khususnya petani tembakau dan pekerja industri rokok tapi juga pemerintah. Karena itu, kami meminta pasal 154 dicabut. Jika tidak dicabut, hal ini akan memunculkan kemarahan dari petani dan pekerja industri tembakau di seluruh Indonesia,” ujar Suryana. Firman mebegaskan, rokok atau tembakau tidak bisa disamakan dengan narkoba. Tembakau memberikan nilai positif dan menguntungkan negara sementara narkoba membahayakan kesehatan sekaligus merugikan negara. "Kalau narkoba itu tidak ada nilai ekonominya. Narkoba jelas merugikan pemakai dan negara. Kalau tembakau dan industri rokok, ada nilai ekonomi dan nilai sosialnya. Beda jauh sekali. Inikan ada industri tembakaunya dan inikan jelas bahwa yang namanya tembakau itu ada dampak positifnya untuk negara, ada menyumbang devisa negara, dan menyumbang kepentingan negara,” ujarnya.

Firman Subagyo mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan atas gugatan judicial review bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman halal bukan tanaman haram. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat industri rokok agar tidak boleh memasang iklan, gugatan itu dibatalkan MK alias ditolak. “Semua produk yang resmi ada ijin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar industri rokok maupun tembakau apalagi petani tembakau," ungkap Firman Subagyo. Menurut dia, seharusnya pemerintah berkeberatan dengan adanya sisipan pasal yang menyamakan rokok atau tembakau dengan narkoba di RUU Kesehatan. Hal ini karena negara sudah memungut cukai dari rokok yang jumlahnya hampir mencapai Rp 220 triliun, ditambah pajak pajak lain dari industri rokok.

Firman menyayangkan, respon Kementerian Kesehatan mendukung adanya pasal tersebut. Dia mengingatkan jangan sampai ada pihak pihak tertentu yang ingin menjatuhkan ekonomi nasional, sehingga memasukan sisipan pasal 154 yang intinya berisi penyamaan narkoba dengan tenbakau ataupun rokok,. Padahal pasal tersebut tidak ada dalam rancangan awal dari RUU Kesehatan. Perbaikan Pelayanan Kesehatan

Menurut Firman Subagyo, latar belakang adanya RUU kesehatan yang menggunakan metode Omnibuslaw merupakan inisiasi Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU tersebut tujuannya ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik. Padahal, di RUU Kesehatan pada pelayanan kesehatan itu adalah menjadi hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Itu prinsip dasarnya. “Sekarang ini pelayanan kesehatan kita ini masih jauh dari yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi. Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh dari pada yang kita harapkan. Seorang mahasiswa kedokteran untuk mendapatkan ijin praktek dan setelah menjadi dokter untuk mengambil spesialis, karena sistemnya rumah sakit rujukan yang menyelenggarakan mengambil spesialis. juga banyaknya regulasi regulasi yang itu seharusnya menjadi kewenangan pemerintah diambil alih oleh organisasi profesi. Nah ini yang prinsipnya harus kita sempurnakan dan kita perbaiki, agar pelayanan kesehatan bisa maksimal termasuk BPJS, dimana BPJS itu kan kalau orang sakit itu kan dibatasi waktu sekian hari semoga sembuh, keluar dulu baru masuk lagi,” urainya.

Dia memaparkan, dalam RUU Kesehatan ini DPR RI mengubah supaya undang undang ini bisa memberikan pelayanan yang terbaik termasuk penggunaan BPJS. Tidak boleh lagi ada orang sakit disuruh pulang dan nanti disuruh balik lagi, masuk lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *